Riau | |||
---|---|---|---|
— Provinsi — | |||
|
|||
Peta lokasi Riau | |||
Negara | Indonesia | ||
Hari jadi | 9 Agustus 1957 (hari jadi) | ||
Ibu kota | Pekanbaru | ||
Koordinat | 1º 15' LS - 4º 45' LU 100º 03' - 109º 19' BT |
||
Pemerintahan | |||
- Gubernur | Rusli Zainal | ||
- DAU | Rp. 380.051.123.500,- (2011)[1] | ||
Luas[2] | |||
- Total | 87.023,66 km2 | ||
Populasi (2010)[3] | |||
- Total | 5.543.031 | ||
- Kepadatan | 63,7/km² | ||
Demografi | |||
- Suku bangsa | Melayu (37,74%), Jawa (25,05%), Minangkabau (11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), Bugis (2,27%), Lain-lain (8,87%) [4] | ||
- Agama | Islam (87.98%), Protestan (8.8%), Katolik (0.9%), Buddha (2.05%), Lainnya (0.36%) | ||
- Bahasa | Bahasa Melayu, Bahasa Minangkabau, Bahasa Indonesia | ||
Zona waktu | WIB | ||
Kabupaten | 10 | ||
Kota | 2 | ||
Lagu daerah | Lancang Kuning, Soleram, Langgam Melayu, Kutang Barendo, Lenggang Kangkung, Ayam Putih Pungguk, Hymne Melayu, Satelit Zapin, Zapin Laksmana Raja di Laut, Zapin Pantai Solop, Gulai Kokek Asam Durian, Tuanku Tambusai, Pucuk Pisang, Sekapur Sirih | ||
Situs web | http://www.riau.go.id |
Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah pulau Sumatera. Provinsi ini termasuk salah satu provinsi makmur di Indonesia, dengan gross regional product per kapita sebesar USD 7.886 (2008).[5]
Sejarah
Secara etimologi kata Riau berasal dari bahasa Portugis, Rio berarti sungai.[6] Pada tahun 1514 terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut,[7] dan sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri setelah kejatuhan Malaka.
Pada awal abad ke-16, Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental mencatat bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatera antara Arcat (Aru dan Rokan) hingga Jambi merupakan pelabuhan raja-raja Minangkabau.[8] Dimasa inipula banyak pengusaha Minangkabau yang mendirikan kampung-kampung pedagang di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru.[9]
Pada masa kejayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura yang didirikan oleh Raja Kecil, kawasan ini merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Siak. Sementara, Riau dirujuk hanya kepada wilayah Yang Dipertuan Muda (raja bawahan Johor) di Pulau Penyengat, kemudian menjadi wilayah Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang, dan Riouw, dieja oleh masyarakat setempat menjadi Riau.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Residentie Riouw dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Kemudian Provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dominannya etnis Minangkabau dalam pemerintahan Sumatera Tengah, menuntut masyarakat Riau untuk membentuk provinsi tersendiri.[10] Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Residentie Riouw serta ditambah Bangkinang yang sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukan ke dalam wilayah Rhio Shu.
Kemudian berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-25, pada tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibu kota provinsi Riau menggantikan Tanjung Pinang. Namun pada tahun 2002, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002, Provinsi Riau kembali dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Riau dan Kepulauan Riau.[11] Hal ini juga tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas rasa ketidakadilan dalam politik maupun ekonomi terutama yang berada pada kawasan kepulauan.[12]
Kondisi dan sumber daya alam
Geografi
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit Barisan
hingga Selat Malaka. Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata
curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta
rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari.
Sumber daya alam
Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung
di perut bumi, berupa minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil
hutan dan perkebunannya. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah,
secara bertahap mulai diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan
keuangan antara pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan
tegas mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan
bagi hasil dengan lingkungan sekitar.
Kependudukan
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Provinsi Riau tahun 2010 sebesar 5.543.031 jiwa. Kabupaten/Kota yang
memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa, sedangkan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 176.371 jiwa.
Suku Bangsa
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau (11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), dan Bugis (2,27%). Suku Melayu
merupakan masyarakat terbesar dengan komposisi 37,74% dari seluruh
penduduk Riau. Mereka umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan
Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak,
Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga masyarakat
asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang berasal dari daerah Rokan
Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan sebagian Inderagiri Hulu. Juga
masyarakat Mandailing di Rokan Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu
daripada sebagai Minangkabau ataupun Batak.[13]
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir khususnya Tembilahan.[14] Di bukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu nasib di Riau.
Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan Dumai.
Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau
yaitu menjadi pedagang dan bermukim pada kawasan perkotaan, serta banyak
juga terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis.
Selain itu di provinsi ini masih terdapat sekumpulan masyarakat asli yang tinggal di pedalaman dan pinggir sungai, seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
Bahasa
Bahasa pengantar masyarakat provinsi Riau pada umumnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu umumnya digunakan di daerah-daerah pesisir seperti Rokan
Hilir, Bengkalis, Dumai, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, Indragiri
Hilir dan di sekitar pulau-pulau. Bahasa Minang
secara luas juga digunakan oleh penduduk di provinsi ini, terutama oleh
para oleh penduduk asli di daerah Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan
Hulu yang berbudaya serumpun Minang serta para pendatang asal Sumatera
Barat. Selain itu Bahasa Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Keturunan Tionghoa, terutama yang bermukim di daerah seperti Selatpanjang, Bengkalis, dan Bagansiapiapi[rujukan?].
Dalam skala yang cukup besar juga didapati penutur Bahasa Jawa yang
digunakan oleh keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim di
Riau sejak masa penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari
Pulau Jawa pada masa setelah kemerdekaan. Di samping itu juga banyak
penutur Bahasa Batak di kalangan pendatang dari Provinsi Sumatera Utara.[rujukan?]
Agama
Dilihat dari komposisi penduduk provinsi Riau yang penuh kemajemukan
dengan latar belakang sosial budaya, bahasa, dan agama yang berbeda,
pada dasarnya merupakan aset bagi daerah Riau sendiri. Agama-agama yang
dianut penduduk provinsi ini sangat beragam, diantaranya Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Berbagai sarana dan prasarana peribadatan bagi masyarakat Riau sudah
terdapat di provinsi ini, seperti Mesjid Agung An-nur (Mesjid Raya di
Pekanbaru), Masjid Agung Pasir Pengaraian, dan Masjid Raya Rengat bagi
umat muslim. Bagi umat Katolik/Protestan diantaranya terdapat Gereja
Santa Maria A Fatima, Gereja HKBP di Pekanbaru, GBI Dumai, Gereja Kalam
Kudus di Selatpanjang, Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus di
Bagansiapiapi, Gereja Methodist (Jemaat Wesley) di Bagansiapiapi.[rujukan?]
Bagi umat Buddha/Tridarma ada Vihara Dharma Loka dan Vihara Cetia Tri
Ratna di Pekanbaru, Vihara Sejahtera Sakti di Selatpanjang, Kelenteng
Ing Hok Kiong, Vihara Buddha Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni di Bagansiapiapi. Bagi Umat Hindu adalah Pura Agung Jagatnatha di Pekanbaru.[rujukan?]
Pemerintahan
Berdasarkan surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958
nomor 258/M/1958 diangkat Mr. S.M. Amin, sebagai Gubernur pertama
provinsi Riau yang dilantik pada tanggal 5 Maret 1958 di Tanjung Pinang.
Pendidikan
Riau mempunyai beberapa perguruan tinggi, di antaranya Universitas Riau, Universitas Islam Riau, Universitas Muhammadiyah Riau,
Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim, Universitas Lancang
Kuning, Universitas Abdurrab, Universitas Pasir Pengaraian, serta Politeknik Caltex Riau.
Perekonomian
Pertanian & perkebunan
Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun oleh rakyat. Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk dan kelapa.
Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini propinsi Riau telah
memiliki lahan seluas 1.34 juta hektar. Selain itu telah terdapat
sekitar 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan
produksi coconut palm oil (CPO) 3.386.800 ton per tahun.
Hutan & ikan
Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup semua upaya
memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber
daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan
penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai
sumber daya pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi utamanya
sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi lindung, dan
estetika sebagai dampak kebijakan pemerintah yang lalu.
Hilangnya ketiga fungsi diatas mengakibatkan semakin luasnya lahan
kritis yang diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang mengabaikan aspek
kelestarian. Efek selanjutnya adalah semakin menurunnya produksi kayu
hutan non HPH, sementara upaya reboisasi dan penghijauan belum optimal
dilaksanakan. Masalah lain yang sangat merugikan tidak saja provinsi
Riau pada khususnya tapi Indonesia pada umumnya, adalah masalah ilegal logging yang menyebabkan berkurangnya kawasan hutan serta masalah pengerukan pasir secara liar.
Industri
Pada provinsi ini terdapat beberapa perusahaan berskala internasional
yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas serta pengolahan hasil
hutan dan sawit. Selain itu terdapat juga industri pengolahan kopra dan karet.
Beberapa perusahaan besar tersebut diantaranya Chevron Pacific Indonesia anak perusahaan Chevron Corporation, PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk di Perawang, dan PT. Riau Andalan Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci
Pertambangan
Transportasi
Provinsi Riau merupakan satu-satunya propinsi yang mempunyai BUMD
di bidang transportasi udara yakni PT. Riau Air, yang bertujuan untuk
melayani daerah-daerah yang sulit dijangkau melalui jalan darat maupun
laut. Riau Air mengoperasikan Fokker-50 buatan Belanda sebanyak lima armada, dan tahun 2008 perusahaan ini menambah dua armada lagi dengan jenis Avro-RJ 100.
Keuangan & Perbankan
Untuk bidang perbankkan di propinsi sangat berkembang pesat, ini
ditandai banyaknya bank swasta dan BPR, selain bank milik pemerintah
daerah seperti Bank Riau Kepri.
Pariwisata, Seni, Religi dan Budaya
Wisata Alam
Provinsi Riau sebenarnya memiliki bermacam-macam kawasan pariwisata alam diantaranya yaitu :
Pulau Jemur
Terletak lebih kurang 45 mil dari ibukota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi, dan 45 mil dari negara tetangga yakni Malaysia, sedangkan provinsi Sumatera Utara
merupakan provinsi yang terdekat dari Pulau Jemur. Pulau Jemur
sebenarnya merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari beberapa buah
pulau antara lain, pulau Tekong Emas, pulau Tekong Simbang, pulau
Labuhan Bilik serta pulau-pulau kecil lainnya. Pulau-pulau yang terdapat
di pulau Jemur ini berbentuk lingkaran sehingga bagian tengahnya
merupakan laut yang tenang. Pada musim angin barat laut tiba, gelombang
laut di Selat Malaka sangat besar, dan biasanya nelayan-nelayan setempat
berlindung di bagian tengah pulau Jemur, karena air laut pada kawasan
tersebut tenang. Setelah gelombang laut mengecil atau badai berkurang
barulah para nelayan keluar untuk memulai aktivitas menangkap ikan
kembali. Pulau Jemur memiliki pemandangan dan panorama alam yang indah,
selain itu Pulau Jemur ini amat kaya dengan hasil lautnya, serta pulau
ini dimanfaatkan oleh penyu untuk menyimpan telurnya di bawah lapisan
pasir-pasir pantai. Selain itu pada pulau Jemur juga terdapat beberapa
potensi wisata lain diantaranya adalah Goa Jepang, Mercusuar, sisa-sisa
pertahanan Jepang, batu Panglima Layar, taman laut dan pantai berpasir
kuning emas.
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) memiliki luas 144.223 Ha, dengan ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest),
kawasan ini merupakan peralihan antara hutan rawa dan hutan pegunungan
dengan ekosistem yang unik dan berbeda dibandingkan dengan kawasan taman
nasional lainnya yang ada di Indonesia. Bukit Tiga Puluh merupakan
hamparan perbukitan yang terpisah dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan dan berbatasan dengan provinsi Jambi, daerah ini merupakan daerah tangkapan air (catchment area)
sehingga membentuk sungai-sungai kecil dan merupakan hulu dari
sungai-sungai besar di daerah sekitarnya. Beberapa jenis fauna yang
dapat dijumpai di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh antara lain : Harimau
Sumatera, Beruang Madu, Tapir, Siamang, Kancil, Babi Hutan, Burung
Rangkong, Kuaw, dan berbagai jenis satwa lainnya. Sedangkan jenis flora
langka yang diduga endemik di kawasan tersebut adalah Cendawan Muka
Rimau (Rafflesia haseltii). Selain merupakan habitat dari
berbagai jenis flora dan fauna langka yang dilindungi, kawasan TNBT juga
merupakan tempat hidup dan bermukim beberapa komunitas masyarakat suku
asli seperti Talang Mamak, Anak Rimba, dan Melayu Tua.
Pantai Rupat Utara Tanjung Medang
Berlokasi di Kecamatan Rupat, Pulau Rupat.
Kawasan Pantai Pasir Panjang terdiri atas Tanjung Medang, Teluk Rhu dan
Tanjung Punak di Kecamatan Rupat dan berhadapan langsung dengan Kota Dumai, dengan mudah dapat dicapai karena dari Dumai
tersedia transportasi laut untuk penumpang umum. Pasir di pantai ini
berwarna putih dan bersih yang memungkinkan pengunjung untuk mandi,
berjemur, berolahraga air, rekreasi keluarga dan bersantai menikmati
kejernihan air lautnya dengan ombak yang sedang.
Air Terjun Aek Martua
Terletak di kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu
merupakan air terjun bertingkat-tingkat, sehingga sering pula disebut
air terjun tangga seribu, dapat ditempuh melalui jalan darat, kira-kira
dua per tiga dari bawah terdapat kuburan pertapa Cipogas dengan air
terjun yang bertingkat-tingkat dan sungguh mengagumkan untuk dinikmati.
Objek Wisata Bono
Terletak di Desa Teluk Meranti, sepanjang Sungai Kampar dan Sungai
Rokan. Bono adalah fenomena alam yang datang sebelum pasang. Air laut
mengalir masuk dan bertemu dengan air sungai Kampar sehingga terjadi
gelombang dengan kecepatan yang cukup tinggi, dan menghasilkan suara
seperti suara guntur dan suara angin kencang. Pada musim pasang tinggi,
gelombang sungai Kampar bisa mencapai 4-6 meter, membentang dari tepi ke
tepi menutupi keseluruhan badan sungai. Peristiwa ini terjadi setiap
hari, siang maupun malam hari. Hal yang menarik turis ke objek wisata
ini adalah kegiatan berenang, memancing, naik sampan, dan kegiatan
lainnya.
Wisata Bahari di Kabupaten Siak
Wisata Bahari di Kabupaten Siak yaitu Danau Pulau Besar yang terletak
di Desa Zamrud, Kecamatan Siak Sri Indrapura. Danau ini memiliki luas
sekitar 28.000 Ha, dan Danau Naga di Sungai Apit. Danau Bawah dan Danau
Pulau Besar terletak dekat lapangan minyak Zamrud, Kecamatan Siak.
Memiliki panorama indah yang mengagumkan dan menarik. Di sekitar danau
masih ditemukan hutan yang masih asli. Kondisi danau maupun hutan di
sekitar danau berstatus Suaka Marga Satwa yang luasnya mencapai 2.500
hektar, dimana masih terdapat berbagai aneka jenis satwa dan tumbuhan
langka. Sumber daya hayati yang terdapat di danau ini seperti pinang
merah, ikan arwana dan ikan Balido yang termasuk dilindungi.
Keanekaragaman jenis satwa liar di Suaka Marga Satwa danau Pulau Besar
dan danau Bawah merupakan kekayaan tersendiri sebagai objek wisata tirta
di Riau Daratan.
Wisata Religi, Budaya dan Sejarah
Provinsi Riau memiliki berbagai wisata religi, budaya maupun sejarah.
Beberapa wisata religi, budaya, dan sejarah yang terkenal dari daerah
Riau di antaranya :
Upacara Bakar Tongkang di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir
Upacara Bakar Tongkang adalah wisata budaya unggulan Provinsi Riau dari Kabupaten Rokan Hilir
(Rohil). Upacara Bakar Tongkang telah menjadi wisata nasional bahkan
internasional. Upacara Bakar Tongkang adalah upacara tradisional
masyarakat Tionghoa di Ibu Kota kabupaten Rokan Hilir yakni Bagansiapiapi.
Ritual Bakar Tongkang
merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan
diri dari si penguasa Siam di daratan Indo China pada abad ke-19. Di
dalam kapal yang di pimpin Ang Mie Kui, terdapat patung Dewa Kie Ong Ya
dan lima dewa, dimana panglimanya disebut Taisun Ong Ya. Patung -patung
dewa ini mereka bawa dari tanah Tiongkok, dan menurut keyakinan mereka
bahwa dewa tersebut akan memberikan keselamatan dalam pelayaran, hingga
akhirnya mereka menetap di Bagansiapiapi.
Untuk menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang
mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi, maka mereka membakar wangkang (tongkang) yang
dilakukan setiap tahun. Sedangkan prosesi sembahyang dilaksanakan pada
tanggal 15 dan 16 bulan 5 tahun Imlek / penanggalan China.
Perayaan Imlek di Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti
Perayaan Hari Raya Imlek
adalah tradisi pergantian tahun baru,Imlek tak ubahnya seperti tahun
baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat islam. Imlek adalah Tahun
Baru Cina. Namun bagi umat lain yang beraliran sama juga bisa merayakan
Hari Raya Imlek.Acara Perayaan Imlek memang sudah menjadi bagian dari
tradisi di Kota Selatpanjang. Hampir setiap tahun perayaan Imlek di kota
ini dirayakan sangat meriah bahkan juga termasuk Perayaan Imlek yang
paling meriah di kawasan Provinsi Riau. Apalagi pemerintah daerah
Kabupaten Kepulauan Meranti juga sudah menjadikan ivent perayaan Imlek
sebagai salah satu asset wisata tahunan yang masuk kedalam Kalender
Wisata Riau. Puluhan ribu orang baik dari dalam maupun luar
Selatpanjang, bahkan wisatawan dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, China, Taiwan, Australia akan membanjiri Kota Selatpanjang untuk turut serta memeriahkan perayaan Imlek.
Imlek bagi sejumlah warga Tionghoa Selatpanjang yang berada di luar
daerah maupun di luar negeri, dijadikan ajang tradisi pulang kampung.
Hal ini sudah berlangsung lama, bahkan mereka anggap sebagai momentum
penting untuk mudik ke tanah kelahiran. Walaupun puncak acara Perayaan
Tahun Baru Imlek di Selatpanjang berlangsung pada hari ke-6 bulan
pertama Tahun Baru Imlek yang biasanya disebut Cue Lak (Bahasa Hokkian),tetapi kemeriahannya mulai terasa dihari H-7 yaitu seminggu sebelum jatuhnya perayaan Imlek.
Penyambutan tahun baru imlek di Selatpanjang di pusatkan di Vihara
Sejahtera Sakti. Selain melakukan sembahyang, yang paling unik di daerah
ini adalah warga yang merayakan juga berkeliling kota pada waktu sore
hari dengan mengunakan Bentor
(Becak Motor). Kegiatan ini biasanya berlansung selama 6 hari. Sebelum
puncak acara Imlek, biasa diawali dengan Festival Kembang Api pada hari
Ke-5. Durasi kembang api bisa berlangsung cukup lama, kurang lebih bisa
mencapai 3 jam.
Pada puncak perayaan Imlek, bertepatan dengan dilangsungkannya upacara ulang tahun dewa 清水祖師 Qing Shui Zu Shi[15]. Pada momen ini, warga Tionghoa
menyakini bahwa sang dewa sedang turun ke bumi dengan maksud untuk
mengusir unsur-unsur kejahatan dan memberikan kemakmuran serta
ketentraman bagi warga kota Selatpanjang. Untuk itu diadakan penyambutan
khusus dengan menggotong tandu patung dewa dan diarak berkeliling kota
melewati beberapa kelenteng lain disertai atraksi tarian liong (naga), dan barongsai (singa) yang diiringi seni budaya Jawa, Reog Ponorogo.
Perayaan Cue Lak tersebut juga dihadiri oleh para tetua atau orang yang
terpilih dan dirasuki oleh roh para dewa yang biasa disebut Thangkie,
yaitu dimana raga atau tubuh orang tersebut dijadikan alat komunikasi
atau perantara roh dewa. Budaya ini memiliki kesamaan dengan masyarakat Singkawang (Kalimantan Barat) yang biasa dikenal dengan Tatung.
Konon perayaan Imlek di Selatpanjang dapat juga diartikan sebagai
sebuah rezeki bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah ini. Oleh
karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat yang non-etnis Tionghoa
biasanya juga turut ikut meramaikan perayaan Imlek dengan iring-iringan
Reog Ponorogo dan atraksi kesenian lain yang merupakan tradisi dari
daerah setempat. Kota ini juga merupakan salah satu kota di kawasan Riau
yang mempunyai Kelenteng cukup banyak, yakni sekitar 20-an.
Mesjid Raya Pekanbaru
Mesjid Raya dan Makan Marhum Bukit serta Makam Marhum Pekan. Mesjid
Raya Pekanbaru terletak di Kecamatan Senapelan memiliki arsitektur
tradisional yang amat menarik dan merupakan mesjid tertua di Kota
Pekanbaru. Mesjid ini dibangun pada abad 18 dan sebagai bukti Kerajaan
Siak pernah berdiri di kota ini pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Jalil Muazzam Syah dan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
sebagai sultan keempat dan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura. Di
areal Mesjid terdapat sumur mempunyai nilai magis untuk membayar zakat
atau nazar yang dihajatkan sebelumnya. Masih dalam areal kompleks mesjid
kita dapat mengunjungi makam Sultan Marhum Bukit dan Marhum Pekan
sebagai pendiri kota Pekanbaru. Marhum Bukit adalah Sultan Abdul Jalil
Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4) memerintah tahun 1766 – 1780,
sedangkan Marhum Bukit sekitar tahun 1775 memindahkan ibukota kerajaan
dari Mempura Siak ke Senapelan dan beliau mangkat tahun 1780.
Istana Siak Sri Indrapura
Kerajaan Siak adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang terbesar di
Riau. Mencapai masa kejayaannya pada abad ke-16 sampai abad ke-20. Dalam
silsilah, sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725
dengan 12 sultan yang pernah bertahta. Kini sebagai bukti sejarah atas
kebesaran kerajaan Melayu Islam tersebut, dapat kita lihat peninggalan
kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan
Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan
nama Assirayatul Hasyimah, lengkap dengan peralatan kerajaan. Sekarang
Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan
benda-benda koleksi kerajaan antara lain : kursi singgasana kerajaan
yang berbalut emas, duplikat mahkota Kerajaan, brankas Kerajaan, payung
Kerajaan, tombak Kerajaan, komet sebagai barang langka dan menurut
cerita hanya ada dua di dunia, serta barang-barang lain-lainnya. Di
samping istana kerajaan terdapat pula istana peraduan.
Candi Muara Takus
Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar.
Jaraknya kurang lebih 135 km dari Kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks
candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 km dan tak jauh
dari pinggir Sungai Kampar Kanan. Kompleks candi ini dikelilingi tembok
berukuran 74 x 74 meter. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah
berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke
pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula
bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa, serta Palangka. Bahan
bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai, dan batu bata.
Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa
Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi.
Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai
tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat
candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini
walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan
candi ini dilakukan secara bergotong royong oleh orang ramai. Selain
Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa, dan Palangka, di dalam kompleks
candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat
pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula
bangunan-bangunan yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat
dipastikan jenis bangunannya. Kompleks candi Muara Takus, satu-satunya
peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat
Budhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Budha berkembang di
kawasan ini beberapa abad yang silam. Kendatipun demikian, para pakar
purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan.
Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat,
abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya.
Kelenteng Hoo Ann Kiong/Vihara Sejahtera Sakti Selatpanjang
Kelenteng Hoo Ann Kiong (lebih dikenal luas sebagai Vihara Sejahtera Sakti/Tua Pek Kong Bio (Bahasa Hokkian))
adalah kelenteng tertua yang ada di Selatpanjang, dan juga merupakan
Kelenteng Tertua di Provinsi Riau. Kelenteng ini didirikan pada masa
kolonial Belanda dan sampai hari ini belum diketahui dengan pasti kapan
berdirinya. Sejarawan memprediksi kelenteng ini berumur lebih dari 150
tahun, setelah dilihat dari relief arsitektur bangunannya. Kelenteng ini
sangat dikenal luas oleh masyarakat Selatpanjang maupun masyarakat luar
negeri terutama bagi wisatawan Singapura dan Malaysia sebagai tempat ibadah umat Buddha, maupun Konghucu.
Benteng Tujuh Lapis
Benteng Tujuh Lapis terletak di daerah Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu. Benteng tanah ini dibuat oleh masyarakat Dalu-dalu pada masa Perang Paderi atas petuah Tuanku Tambusai.
Bekas benteng tersebut ditinggalkan Tuanku Tambusai pada tanggal 28
Desember 1839. Disekitar daerah Dalu-dalu ini juga terdapat beberapa
benteng yang disebut Kubu.
Rujukan
- ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses pada 23 Mei 2011.
- ^ www.depdagri.go.id Permendagri Nomor 6 Tahun 2008
- ^ Badan Pusat Statistik Riau
- ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 29 Desember 2003.
- ^ Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, p. 134, Badan Pusat Statistik, Oktober 2009
- ^ Samin, S.W. (1991). Budaya Melayu dalam perjalanannya menuju masa depan. Yayasan Penerbit MSI-Riau.
- ^ Schnitger, F.M. (1964). Forgotten Kingdoms in Sumatra. E. J. Brill.
- ^ Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, University of Hawaii Press, 2008
- ^ Suwardi Mohammad Samin, Dari Kebatinan Senapelan ke Bandaraya Pekanbaru : Menelisik Jejak Sejarah Kota Pekanbaru, 1784-2005, Penerbit Alaf Riau, 2006
- ^ Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, 2007
- ^ www.setneg.go.id UU Nomor 25 Tahun 2002
- ^ Gerry Van Klinken, Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom, (2007), Politik lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-615-X
- ^ Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Balai Pustaka
- ^ Majalah Prisma, Masalah 1-8, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1990
- ^ http://jindeyuan.org [1]
0 komentar:
Posting Komentar