Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulu juga ada Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Kutai, dan lain-lain.
UU keistimewaan
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi
khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
- Daerah Istimewa Aceh (Provinsi Aceh) telah diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
- Daerah Istimewa Surakarta, sejak Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946
- Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki UU yang mengatur ketentuan khusus sebagaimana dimaksud di dalam Undang undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta[1].
Aceh
Aceh
adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh
terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini
tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005
dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju
pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
- Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
- Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
- Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
- Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
- Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh
sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat
setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi
keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri
Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi
Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan
dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang
berkesejahteraan di Aceh.
Penyelenggaraan Keistimewaan
Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi penyelenggaraan kehidupan
beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan,
dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
- Penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama.
- Aceh dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama yang sudah ada dengan sebutan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan tidak merupakan bagian perangkat Daerah.
- Aceh dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong.
- Aceh mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam.
- Aceh membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama yang bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.
Keistimewaan saat Ini
Keistimewaan Aceh sebagai bagian dari Negara Indonesia semakin
dikokohkan dan diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai bentuk pemberian Otonomi
khusus bagi Aceh.
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur. Pasal 1 angka 2 UU No 11 Tahun 2006
Surakarta dan Yogyakarta
Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Surakarta didasarkan pada hak asal-usul kedua wilayah sebagai penerus Kerajaan Mataram,
peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, serta balas jasa Presiden
Soekarno atas pengakuan raja-raja tersebut yang menyatakan wilayah
mereka adalah bagian dari Republik Indonesia. Gubernur Daerah Istimewa
Surakarta yang pertama adalah Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan wakil gubernur Sri Mangkunegara VIII, sedangkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan wakilnya adalah KGPAA Paku Alam VIII,
masing-masing gubernur dan wakil gubernur memiliki masa jabatan seumur
hidup. Namun karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Tan Malaka
untuk menentang berkuasanya kekuatan aristokrasi dan feodalisme di
Daerah Istimewa Surakarta, maka semenjak 16 Juni 1946 DIS dihapuskan dan
diganti dengan status Karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen.
Surakarta
Provinsi Surakarta atau Daerah Istimewa Surakarta (DIS) adalah sebuah "provinsi" yang pernah ada sejak Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946.[2]
Provinsi ini merupakan bagian dari Republik Indonesia (RI) yang terdiri
atas Daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunagaran dan
diperintah secara bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegara.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno
sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan
Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia.
Pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba.
Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran
Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah
perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945,
Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik
dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan
Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro
gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT
Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan
mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan,
maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membubarkan DIS dan
menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran dan daerah
Surakarta yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan
susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan
Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat sebagai warga
negara Republik Indonesia dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan
seni dan budaya Jawa.
Sumber
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893)
0 komentar:
Posting Komentar