Aceh | |||
---|---|---|---|
— Provinsi — | |||
Moto: "Pancacita" (dari bahasa Sanskerta yang artinya "Lima cita-cita") |
|||
Peta lokasi Aceh | |||
Negara | Indonesia | ||
Hari jadi | 7 Desember 1959 (hari jadi) | ||
Dasar hukum | UU RI No. 24/1956 UU RI No. 44/1999 UU RI No. 18/2001 UU RI No. 11/2006 (Pemerintahan Aceh) |
||
Ibu kota | Banda Aceh (dahulu Koetaradja) | ||
Koordinat | 1º 40' - 6º 30' LU 94º 40' - 98º 30' BT |
||
Pemerintahan | |||
- Gubernur | dr. H. Zaini Abdullah | ||
- DAU | Rp. 716.646.172.000,- (2011)[1] | ||
Luas | |||
- Total | 58.375,63 km2 | ||
Populasi (2010)[2] | |||
- Total | 4.494.410 | ||
- Kepadatan | 77/km² | ||
Demografi | |||
- Suku bangsa | Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.[3][4] | ||
- Agama | Islam (98,5%), Kristen (1.1%), lainnya (0.5%) | ||
- Bahasa | Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.[5][6] | ||
Zona waktu | WIB | ||
Kabupaten | 18[7] | ||
Kota | 5[8] | ||
Kecamatan | 276[9] | ||
Desa/kelurahan | 6455[10] | ||
Lagu daerah | Bungong Jeumpa | ||
Situs web | http://www.acehprov.go.id/ |
Aceh[11] yang mula-mula bernama Aceh Darussalam (1511-1959) selanjutnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) dan menjadi provinsi Aceh (2009-sekarang)adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah.[12] Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.
Sejarah Aceh
Masuknya Islam
Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan
Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah
dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan[13] sebagai khalifah setelah kerasulan Muhammad SAW.
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori
Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa
Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari
al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan
dogmanya dari 3 abad kemudian[14].
Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh
justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu
pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan
tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut;
ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada
Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara
sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan
demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah
secara terang-terangan[15].
Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan
kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan
pada 1 Muharram 225 Hijriyyah[16].
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa
Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sulthan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda
ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra
kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni
mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL[17].
Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil
merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893,
pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan,
pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda,
Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan
Aceh[18].
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden
yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan
kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
Masa penjajahan
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan
kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam
berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat
dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa
dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang
Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi
dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan,
akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di
wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh
tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh
membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan
tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh
yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut
serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan
sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum
perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang
beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah
matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan
dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap
Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah
perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari
daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Masa Republik Indonesia
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005,
GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai
sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung
selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh,
khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri
dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.
Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
Gerakan Aceh Merdeka
Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh.
Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada
mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.
Kependudukan
Suku bangsa
Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)[19]
Bahasa
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam
diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam,
berdasar UU No.18/2001. Meski dari kalangan intelektual Aceh sendiri,
masih terdapat perdebatan soal apakah yang diberlakukan di Aceh sudah
benar-benar syariat, atau itu cuma karena alasan politis saja?[20]
Alasan yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika itu
berkenaan dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa
tidaknya hukum Islam diproduksi pasca kenabian,selain persoalan dualisme
aliran dalam Islam, dua aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.[21]
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status
Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak
menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya.
Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang
menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan dan penganaktirian
dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya
menjadi korban. Pada Ujian Akhir Nasional 2005 ada ribuan siswa yang
tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:
Negeri
- Universitas Syiah Kuala
- IAIN Ar-Raniry
- Universitas Malikussaleh
- Politeknik Negeri Lhokseumawe
- Politeknik Aceh
- STAIN Malikussaleh
- STAIN Zawiyah Cot Kala
Swasta
- Universitas Abulyatama
- Universitas Muhammadiyah Aceh
- Universitas Iskandar Muda
- Universitas Serambi Mekkah
- Universitas Jabal Ghafur
Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara kecamatan dan gampong.
Sistem Pemerintahan Indonesia
Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah
hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai
berikut:
No. | Kabupaten/Kota | Pusat pemerintahan | Kecamatan | Desa (atau sederajat) |
---|---|---|---|---|
1 | Kabupaten Aceh Barat | Meulaboh | 12 | 321 |
2 | Kabupaten Aceh Barat Daya | Blangpidie | 9 | 132 |
3 | Kabupaten Aceh Besar | Kota Jantho | 23 | 592 |
4 | Kabupaten Aceh Jaya | Calang | 6 | 172 |
5 | Kabupaten Aceh Selatan | Tapak Tuan | 16 | 369 |
6 | Kabupaten Aceh Singkil | Singkil | 10 | 127 |
7 | Kabupaten Aceh Tamiang | Karang Baru | 12 | 128 |
8 | Kabupaten Aceh Tengah | Takengon | 14 | 268 |
9 | Kabupaten Aceh Tenggara | Kutacane | 11 | 164 |
10 | Kabupaten Aceh Timur | Idi Rayeuk | 21 | 580 |
11 | Kabupaten Aceh Utara | Lhoksukon | 27 | 1.160 |
12 | Kabupaten Bener Meriah | Simpang Tiga Redelong | 7 | 232 |
13 | Kabupaten Bireuen | Bireuen | 17 | 514 |
14 | Kabupaten Gayo Lues | Blang Kejeren | 11 | 97 |
15 | Kabupaten Nagan Raya | Suka Makmue | 5 | 213 |
16 | Kabupaten Pidie | Sigli | 22 | 946 |
17 | Kabupaten Pidie Jaya | Meureudu | 8 | 215 |
18 | Kabupaten Simeulue | Sinabang | 8 | 135 |
19 | Kota Banda Aceh | - | 9 | 80 |
20 | Kota Langsa | - | 5 | 52 |
21 | Kota Lhokseumawe | - | 4 | 67 |
22 | Kota Sabang | - | 2 | 18 |
23 | Kota Subulussalam | - | 5 | 74 |
Jumlah | 264 | 6.656 |
Perwakilan
Berdasarkan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Provinsi Aceh mengirimkan 13 anggota DPR, dengan perincian: Partai Demokrat tujuh orang, PKS dan Partai Golkar masing-masing dua orang, dan PAN serta PPP masing-masing satu orang.[22] Selain itu, empat anggota DPD
yang berasal dari Aceh adalah Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum
Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M.[23]
Partai | Kursi | % |
---|---|---|
Partai Aceh | 33 | 47,8 |
Partai Demokrat | 10 | 14,5 |
Partai Golkar | 8 | 11,6 |
PAN | 5 | 7,3 |
PKS | 4 | 5,8 |
PPP | 3 | 4,4 |
Partai Daulat Aceh | 1 | 1,5 |
PDI-P | 1 | 1,5 |
PKPI | 1 | 1,5 |
PBB | 1 | 1,5 |
PKB | 1 | 1,5 |
Partai Patriot | 1 | 1,5 |
Total | 69 | 100,0 |
Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.
Sumber daya alam
Perekonomian
Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh,
menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai
1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005).
Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara
perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas
Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata,
baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87
persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di
sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan
sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah
nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800
unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke
lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan
beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line).
Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat
darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI)
kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak,
sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal
kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah
pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat
penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium
uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan
9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu
tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor
besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota
rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana
tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan
total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar
kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan),
tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan
kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari
total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal
dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya).
Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan
prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan
tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen.
Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun.
Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama
(sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal
selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan
asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini
pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp
3,8 triliun.
Perbankan
Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik
Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas
IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem
pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih
dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.
Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan
BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar
beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.
Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya
- PT Arun: Kilang Pencairan Gas Alam di Lhokseumawe
- PT PIM: Pabrik Pupuk Iskandar Muda di Lhokseumawe
- PT AAF: Pabrik Pupuk Asean di Lhokseumawe
- PT KKA: Pabrik Kertas di Lhokseumawe
- PT SAI-Lafarge: Semen Andalas di Aceh Besar
- ExxonMobil: Kilang Gas Alam di Lhokseumawe
Pertambangan
- Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah
- Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat,
- Batu gamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan
Pariwisata
- Masjid Raya Baiturrahman
- Museum Aceh
- Taman Putroe Phang
- Kuburan Kerkhoff
- Danau Laut Tawar
- Danau Aneuk Laot
- Pantai Lhoknga
- Museum Tsunami
- Guha Tujoh di Laweueng
Seni dan Budaya
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya
wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas
seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
- Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
- Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
- Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
- Bustanussalatin
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Malem Diwa
- Legenda Amat Rhah manyang
- Legenda Putroe Neng
- Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panjang, Perisai Awe, Perisai Teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki
kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan.
Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia
merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
- Tari Laweut
- Tari Likok Pulo
- Tari Pho
- Tari Ranup Lampuan
- Tari Rapai Geleng
- Tari Rateb Meuseukat
- Tari Ratoh Duek
- Tari Seudati
- Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
Tarian Suku Alas
Tarian Suku Melayu Tamiang
Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh. Di Pidie Jaya terkenal dengan kue khas Meureudu yaitu adee. Di Aceh Utara lazim kita temukan kuliner khas lainnya yaitu martabak durian yang lezat. Kuliner Bireun yang paling terkenal adalah sate matang, yaitu sejenis masakan sate daging sapi atau kambing yang berasal dari kota Matang Geuleumpang Dua. Sementara kuliner khas Aceh yang sering ditemukan dijual diluar Provinsi Aceh adalah mie Aceh, sejenis mie kuning basah yang diracik dengan bumbu khas nan pedas.
Pahlawan
Bangsa Aceh
merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah
pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat
jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).
Pahlawan Perempuan
Pahlawan Pria
- Sultan Iskandar Muda
- Teungku Chik Di Tiro
- Teuku Umar
- Panglima Polem
- Teuku Nyak Arif
- Mr. Teuku Muhammad Hasan[24]
Tokoh asal Aceh
- Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.
- Hamzah Fansuri
- Nuruddin ar-Raniri
- Syiah Kuala
- Syamsuddin al-Sumatrani
- Tun Sri Lanang
- Teungku Chik Pante Kulu
- Ismail al-Asyi
- Mohamad Kasim Arifin
- Teungku Hasan Muhammad di Tiro
- P. Ramlee
- Teungku Ahmad Dewi
- Teungku Daud Beureu'eh
Referensi
- ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses pada 23 Mei 2011.
- ^ Sensus Penduduk 2010
- ^ http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6474:aceh-gelar-kongres-Suku-daerah&catid=13:aceh&Itemid=26
- ^ http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=3337
- ^ http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6474:aceh-gelar-kongres-bahasa-daerah&catid=13:aceh&Itemid=26
- ^ http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=3337
- ^ Jumlah kabupaten di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah kota di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah kecamatan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah gampong/kelurahan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Lihat pula http://www.acehprov.go.id/
- ^ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- ^ Shadiqin, Sehat Ihsan: Tasawuf Aceh, Bandar Publishing, Cet-II, 2009.
- ^ Azra, Azyumardi: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, Jakarta, Prenata Media, 2006
- ^ Shadiqin, Sehat Ihsan (2009)
- ^ Ibid
- ^ Kawilarang, Harry: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar Publishing, Banda Aceh-Cet. III, 2010
- ^ ibid
- ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 29 Desember 2003. ISBN 9812302123.
- ^ Ramli, Affan: Merajam Dalil Syariat, Bandar Publishing, Cet-1, 2010
- ^ ibid
- ^ a b Partai Aceh dan Demokrat Kuasai Kursi DPRA dan DPR. Media Indonesia. Edisi daring 4-5-2009. Diakses 4-5-2009.
- ^ Hasil perolehan suara DPD Provinsi NAD.
- ^ "http://www.gemari.or.id/file/gemari71hal42.PDF".
0 komentar:
Posting Komentar